Reviewed by :
Unknown
Hujan deras yang turun selama berjam-jam pada hari Kamis tanggal 26 Maret 2009 membuat tanggul Situ Gintung Cirendeu di Tangerang Selatan jebol. Bencana ini terjadi pada tanggal 27 Maret dini hari tepatnya pk.05.00 WIB. Akibatnya wilayah seluas kurang lebih 10 hektar porak poranda diterjang oleh air yang datang bagaikan tsunami. Sampai hari Sabtu pagi tanggal 28 Maret, korban tewas yang telah dievakuasi mencapai 65 orang. 98 orang dinyatakan hilang, dan 52 orang mengalami luka-luka. Peristiwa naas ini langsung mengundang simpati dari berbagai pihak. Presiden SBY bersama Wapres menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban. Beberapa posko darurat pun didirikan untuk menampung para pengungsi. Setelah berlalunya tragedi Situ Gintung ini, para pengungsi biasanya rawan penyakit pascabencana, seperti diare, infeksi saluran pernapasan, DBD, dan penyakit kulit. Bantuan pun terus mengalir, terutama dari perusahaan swasta. Obat-obatan, makanan, minuman, dan kebutuhan lainnya terus berdatangan ke tempat penampungan sementara. Banyak juga artis-artis yang turun langsung ke lokasi. Seperti Rossa, Olga Syahputra, dll. Bahkan mereka berniat melakukan malam penggalangan dana. Sungguh suatu hal yang mulia. Sayangnya, dari pihak parpol justru terkesan mempolitisi peristiwa ini, mereka bahkan memasang spanduk dengan nama caleg disana. Benar-benar sesuatu yang membuat miris.
Namun, layakkah kita menyalahkan alam atas peristiwa ini?? Menurut catatan, Situ Gintung ini mulai dijadikan bendungan pada jaman penjajahan Belanda 76 tahun yang lalu. Sejak saat itu, kondisinya tidak pernah berubah, tidak pernah dilakukan perbaikan ataupun modernisasi terhadap bendungan ini. Tanggulnya pun masih tetap terbuat dari tanah. Menurut apa yang saya baca, beberapa waktu sebelumnya, warga sebenarnya sudah meminta dilakukan perbaikan, namun respon yang terlambat dari pemerintah menyebabkan bencana tidak dapat lagi dihindari. Sisi baiknya, dengan adanya peristiwa ini, pemerintah menugaskan dinas pekerjaan umum untuk memeriksa semua tanggul di Jakarta.
Sampai kapankah pemerintah akan terus lalai ?? Menunggu bencana datang baru mengambil tindakan ?? Sudah selayaknya pemerintah introspeksi diri untuk mencegah bencana yang lain yang diakibatkan oleh respon yang lemah ini. Standar operasi dan pemeliharaan (SOP) seharusnya benar-benar diperhatikan, karena sangat rawan bencana bila terjadi kebocoran seperti yang terjadi di Situ Gintung. Pengaturan air harusnya disesuaikan dengan kapasitas tampungnya. Bila terjadi masukan air yang melebihi kapasitas maka pintu air harus segera dibuka. Pemeliharaan rutin juga harus dilakukan agar dapat segera diperbaiki bila terjadi kerusakan. Pengelolaan tata ruang juga harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Misalnya di sekitar danau/situ tidak boleh ada bangunan dengan jarak kurang dari 200 meter, karena jarak ini merupakan area greenbelt yang ditanami tanaman keras sebagai pelindung tanggul. Tapi masyarakat sering kali membandel. Pemerintah juga acuh tak acuh dalam menegakkan peraturan. Korban bencana Situ Gintung sebagian berasal dari perkampungan yang berada di sekitar situ. Kerusakan lingkungan di DAS bagian hulu sungai juga harus diperhatikan. Di Situ Gintung kerusakan hulu sungai menyebabkan aliran permukaan langsung masuk ke dalam sungai bersama tanah yang mengalir. Hal ini menyebabkan terjadinya pengendapan di dalam situ yang akhirnya menyebabkan pendangkalan. Kapasitas tampungan menjadi berkurang, beban tanggul semakin berat ketika terjadi hujan lebat dari hulu sungai. Pengelolaan sungai seharusnya melibatkan berbagai instansi terkait baik itu dari dinas kehutanan, dinas pekerjaan umum, maupun organisasi-organisasi lingkungan hidup. Koordinasi yang baik diperlukan disini.
Mungkin juga itu teguran dari Yang di Atas. Bagaimanapun menurut kasak-kusuk yang terdengar, kawasan Situ Gintung yang dulunya terkenal akan kawasan pariwisatanya, pada malam hari mulai ramai akan warung remang-remang. Tempat-tempat maksiat bermunculan. Terjadinya bencana Situ Gintung mungkin merupakan peringatan dari Sang Pencipta. Namun, masih ada mukjizat yang terjadi. Masjid Jabalur Rahman yang berjarak sekitar 50 meter dari tanggul Situ Gintung yang jebol, tetap berdiri kokoh meskipun sebagian besar bangunan di sekitar Masjid Jabalur Rahman ini rusak. Walaupun diterjang air dari tanggul yang jebol, nyaris tidak ada kerusakan pada masjid bercat putih ini. Dengan tinggi sekitar 10 meter masjid ini tetap berdiri tegak. Fenomena masjid yang masih tegak berdiri itu mengingatkan kita kepada kejadian serupa pada saat tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004. Manusia sebagai mahluk yang lemah, seyogyanya selalu berusaha mendekatkan diri dan berjalan di jalan-Nya.
Lanjutkan Membaca “Situ Gintung, Kelalaian Berbuah Petaka” »»